I.
Y A T I N A H (1903-1981)
A. ASAL-USUL
Yatinah lahir Th 1903 di Dusun Patikrejo Desa
Batangsaren Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung. Anak ke-3 dari 7 bersaudara
ini dilahirkan oleh seorang ibu bernama Soeginah (+1875-1955).
Ayahnya yang bernama Partontani (+1870-1945) adalah seorang
Paranormal/ Dhukun/Wong pinter yang diwarisi dari ayahnya yaitu Cokrobongso
(+1845-1925). Seperti halnya ayahnya, sehari-harinya Partontani mengenakan
pakaian kejawen lengkap dengan rambut digelung diatas.
Ayah Cokrobongso yang berarti Mbah
buyut Yatinah bernama Coyudo (+1820-1900). Tentang Coyudo dapat
sedikit diceritakan sebagai berikut: “Dia adalah seorang Punggawa/Prajurit”.
Sayang tidak diketahui Punggawa/Prajurit dari mana. Kemungkinan besar dari Kabupaten
Tulungagung atau Kadipaten Madiun atau mungkin dari Kraton Surakarta/
Yogyakarta. Disamping sebagai punggawa/ prajurit, Coyudo juga senang olah kebatinan/kejawen.
Selepas jadi punggawa/prajurit karena usia menginjak tua, Cayudo berkeinginan
hidup tenteram menjadi petani di desa. Dengan bekal/modal yang dimiliki maka
bersama anaknya (Cokrobongso) Coyudo tiba di Dusun Patikrejo + Th 1880.
Disana membeli tanah pekarangan dan sawah serta menetap. Mereka ini menjadi
cikal bakal sebagian penduduk Patikrejo. Sementara itu ilmu
kebatinan/kejawennya diwariskan kepada anaknya.
B. MASA MUDA
Layaknya perawan Desa yang
lain, begitu menginjak dewasa Yatinah dinikahkan. Suaminya seorang Carik
(Sekretaris Desa). Karena sebab yang tidak jelas, perkawinan yang belum sempat
mempuyai keturunan ini gagal. (Jawa saat itu: Ora atut). Janda kembang
Yatinah kemudian kawin lagi dengan Kartonyono. Belum genap 2 (dua) tahun
perkawinannya lahirlah anak pertamanya (Djoemali). Kemudian diikuti kelahiran 5
anaknya yang lain seperti telah diceritakan pada tulisan tentang Kartonyono.
Yatinah dengan setia
mendampingi suaminya dan rajin ikut membantu mencari tambahan penghasilan.
Pernah membuka cafe (kedai) di Stasiun Ngunut, dagang kain panjang atau jarit
(Pakaian wanita berupa kain panjang batik) di Pasar Ngunut. Bersama suaminya
menyiapkan dan mengirimkan paket dagangan sarung, batik, pecis dan sejenisnya
ke Kisaran Sumatra Utara (disana diterima adik Yatinah bernama Museni yang
bekerja di perkebunan karet). Rumah tangganya bersama Kartonyono meskipun
sederhana tapi cukup mapan untuk ukuran saat itu.
C. MASA TUA
Tahun 1959 pada saat Yatinah
berusia 56 th, suaminya telah mendahului. Sampai tahun 1964 Yatinah tinggal
serumah hanya berdua dengan salah seorang anaknya (Soedjiem). Untuk itu
rumahnya yang relatif besar (+ 250 m2) terpaksa dikecilkan
menjadi tinggal + 100 m2 Setelah tahun 1964 Yatinah
memperolah anggota keluarga baru lagi yaitu Mulyadi (suami Soedjiem) dan anak –
anak Soedjiem.
Th.1981 Yatinah wafat dalam
usia 78 th. Saat itu meninggalkan 6 orang anak, 23 cucu, dan 9 buyut. Prosesi
pemakamannya sungguh luar biasa untuk orang biasa. Mendapat penghormatan
jajaran Polres Ngawi oleh karena saat itu anaknya (Y.S.Hendra) menjabat
Kapolres Ngawi. Dimakamkan di pemakaman Olak Alung Ngunut, berdampingan dengan
makam suaminya.