I. KARTONYONO
(1901 – 1959 )
A. ASAL – USUL
Kartonyono yang bernama kecil Nyono, lahir th.
1901 di Desa Sukorejo Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung. Anak bungsu
dari 7 bersaudara ini lahir dari seorang ibu bernama sebutan Galiman (+
1860 – 1940) sesuai nama salah seorang anaknya yang hilang pada jaman
Belanda, sedang nama aslinya tidak diketahui. Ayah Kartonyono (Kromosari +
1855 – 1930) adalah seorang petani yang sampai wafatnya berada di Desa
tersebut di atas. Sayang makam Kromosari di Sukorejo tidak diketahui. Pada
tahun lima puluhan 2 (dua) orang anak Kartonyono (J.S. Hendra dan Soeharmadji)
pernah menelusuri keberadaan makamnya di Sukorejo namun tidak berhasil menemukan.
Sementara itu makam ibunya (Galiman) berada di Pemakaman Alak – Alung Ngunut .
B. MASA MUDA
Berbekal pendidikan sampai
kelas 2 SR (Sekolah Rakyat / Sekolah ongko-2, sekarang SD) Kartonyono bekerja
di DKA (Djawatan Kereta Api; sekarang PT KAI). Jangan lupa anak seusia
Kartonyono saat itu jauh lebih banyak yang tidak bisa baca tulis. Dengan
pendidikan yang sangat terbatas maka selama di DKA Kartonyono hanya mendapat
tugas sebagai Penjaga Doplangan (Pintu perlintasan jalan kereta api dengan
jalan raya). Tugas yang ringan memang tetapi menuntut tanggung jawab yang
sangat besar.
Tahun 1921 Kartonyono menikahi
seorang janda kembang (janda muda yang belum punya anak) bernama Yatinah
(1903-1981) yang berasal dari Dusun Patikrejo Desa Batangsaren Kecamatan
Kauman Kabupaten Tulungagung. Dari perkawinan ini lahirlah 6 (enam) orang
anaknya yaitu Djoemali (1922-1986) , Moesringah (1925-1997) , Pongah (1928) ,
J.S. Hendra (1930-2006) , Soedjiem (1936) , dan Soeharmadji (1938).
Dalam mengarungi perjalanan
rumah tangganya, istrinya ikut membantu mencari tambahan penghasilan dengan
berdagang/berjualan. Dengan demikian
meskipun gajimya sebagai
ambtenar (PNS jaman Belanda) Golongan I tidak banyak, Kartonyono mampu
membiayai sekolah anak-anaknya (dalam jangkauan terbatas). Anak sulungnya
(Djoemali) tamat Ambaschool (SMP Kejuruan teknik/ST) di Malang. 2 (dua) orang
anak perempuannya tamat SR jaman Belanda. Seorang anak perempuannya tamat SMP
dan 2 (dua) orang anak laki-lakinya yang lain tamat SMA pada awal kemerdekaan.
Jangan lupa pula ijazah saat itu sungguh tinggi nilainya. Pada jaman Belanda
lulus SR ditambah pendidikan 1-2 tahun saja sudah bisa menjadi Guru SR.
Sementara itu dari hasil jerih
payah bersama istrinya, Kartonyono mampu memiliki sebidang tanah seluas 80 Ru
atau lebih dari 1.000 m2. (Saat ini tahun 2010 nilainya di Ngunut
sekitar Rp.500.000.000,-). Rumah tinggalnya
cukup luas (+250 m2).
Meskipun tidak sepenuhnya tembok tetapi cukup baik untuk standar rumah saat
itu. Pekarangannya di penuhi berbagai jenis tanaman seperti kelapa, jambu, nangka,
bambu, pisang, dan berbagai jenis ubi-ubian.
C. MASA TUA
Kartonyono seorang ayah yang
sabar tetapi tegas dan penuh tanggung jawab. Dia juga seorang mbah yang
penyabar dan menyayangi cucu-cucunya. Sementara itu meskipun hanya
berpendidikan rendah (kelas 2 SR), dalam hal pendidikan dia mempunyai pandangan
jauh kedepan. Salah satu pesan kepada 2 orang cucunya ( Mudjito 14 th dan
Mudjoko 12 th ) “Bahasa Inggris kuwi
penting lho. Ilmu-ilmu kuwi sumber-e kabeh ngangggo bahasa Inggris! Pesan
ini sungguh tepat. Puluhan tahun kemudian terbukti bahasa Inggris diajarkan
sejak dini di SD-SD bahkan ada yang sejak TK.
Tahun 1957 Kartonyno memasuki
masa pensiun. Tidak lama kemudian yaitu Th.1959 wafat dalam usia 58 th. Terlalu
cepat memang tetapi itu yang terbaik yang diberikan Tuhan YME kepadanya. Dia
meninggalkan isteri, 6 orang anak dan 9 orang cucu saat itu (tertua Mudi dan Djito 15 th).
Dimakamkan di Pemakaman Olak-Alung Ngunut, tidak jauh dari makam ibunya.